Inilah analisa saham Bank Mega yang kami ulas secara lengkap. Kalau kita baca laporan keuangan industri perbankan yang tercatat di bursa efek Indonesia, maka PT Bank Mega Tbk (MEGA) menjadi satu-satunya Bank yang menorehkan kinerja paling fantastis sepanjang tahun 2020.
Di saat bank-bank lain mengalami penurunan laba, Bank Mega berhasil menorehkan kenaikan laba sebesar 50,21 persen. Apakah dengan demikian saham bank Mega layak untuk kita koleksi? Sebelum kita bahas ke sana. Seperti biasa kita bahas dulu profilnya terlebih dahulu. Berikut ini adalah kami lakukan analisa saham Bank Mega.
baca juga: Prospek Saham Bank Jago
Profil Bank Mega
Cikal bakal berdirinya bank Mega, dimulai pada tahun 1969 dari sebuah bank lokal di Kota Surabaya yang bernama Bank Karman. Entah, siapa pendiri dari bank Karman ini. Karena kalau melihat di situs Bank Mega, pendiri Bank ini juga tidak disebutkan namanya.
Tahun 1992, nama bank Karman berganti menjadi bank Mega dan kantornya juga pindah ke Jakarta. Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1996, Chairul Tanjung mengambil alih bank tersebut dan sampai saat ini tercatat sebagai pemegang saham mayoritas.
Selain Chairul Tanjung melalui perusahaanya PT Mega Corpora yang memegang saham mayoritas 58 persen. Pemegang saham terbesar kedua di bank Mega adalah group Salim. Beberapa media menyebutkan Group Salim melalui PT Indolife Pensiontama menggenggam 422, 8 juta saham atau 6 persen di Bank Mega.
Padahal, kalau beberapa media tersebut sedikit teliti, Group Salim sebenarnya kepemilikan sahamnya di Bank Mega itu lebih dari 6 persen. Kalau kita lihat secara detail laporan tahunan Bank Mega, Group SalimĀ ternyata tidak hanya punya 6 persen saham di Bank Mega.
Group Salim masih punya saham Bank Mega melalui PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) sebesar 298, 7 juta saham atau 4,28 persen. Selain itu, ada PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang tercatat pegang saham Bank Mega sebesar 210,9 juta saham atau 3,02 persen.
Dan melalui PT Salim Chemicals Corpora dan PT AJ Central Asia Raya masing masing pegang 1,55 persen dan 0,72 persen saham di Bank Mega. Jadi sebenarnya kepemilikan Group Salim di Bank Mega itu jumlahnya cukup besar yaitu 15,6 persen.
Dan hal ini mungkin yang menjelaskan kenapa banyak perusahaan milik group Salim yang menempatkan dananya ke Bank Mega, meski Group Salim sudah memiliki Bank Sendiri yaitu Bank Ina Perdana Tbk (BINA). Tapi itu nanti akan kita bahas di lain kesempatan.
Kinerja Perusahaan
Hampir semua indikator kinerja Bank Mega sepanjang tahun 2020 menunjukan kinerja yang sangat bagus. Pendapatan bunga bersih naik 9,2 persen menjadi 3,9 triliun. Laba bersih naik menjadi Rp 3 triliun dari sebelumnya Rp 2 triliun.
Keberhasilan Bank Mega meningkatkan laba bersih ini tak lepas dari manajemen yang berhasil menekan beban operasional perusahaan.
Misalnya, Bank Mega berhasil menekan beban umum dan administrasi dari sebelumnya Rp 1,9 triliun menjadi Rp 1,7 triliun. Beban gaji dan tunjangan juga berhasil turun dari sebelumnya Rp 1,3 triliun menjadi hanya Rp 1,2 triliun.
Namun yang menarik untuk beban gaji dan upah justru bertambah dari sebelumnya Rp 1,02 triliun menjadi Rp 1,05 triliun. Padahal jumlah karyawan mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sampai 913 orang. Karyawan bank mega tahun 2019 tercatat sebesar 7.411 orang dan tahun 2020 hanya 6.498 orang.
Dari sisi pengembalian modal atau Return on Equity (ROE), Bank mega berhasil meningkatkan ROE nya dari sebelumnya 14,9 persen menjadi 19,4 persen. Bank Mega juga berhasil menurunkan kredit macetnya atau Non Performing Loan (NPL) gross dari sebelumnya 2,4 persen menjadi hanya 1,6 persen.
Dan yang terlihat mengalami penurunanĀ adalah margin bunga bank atau net interest margin (NIM) dan penyaluran kredit dari Bank Mega. Sepanjang tahun lalu, NIM bank mega turun dari 4,9 persen menjadi 4,4 persen.
Sedangkan penyaluran kredit bank Mega tercatat turun sebesar 8,5 persen dari sebelumnya Rp 53 triliun menjadi hanya Rp 48,5 triliun.
Penurunan kredit ini sebenarnya merupakan hal yang wajar. Mengingat dalam kondisi pandemi perusahaan juga mengerem untuk melakukan pinjaman akibat demand ekonomi yang belum pulih.
Dan ini bisa dilihat juga dari dana pihak ketiga Bank Mega yang justru mengalami peningkatan sebesar 8,8 persen dari sebelumnya Rp 72 triliun menjadi 79, 2 triliun.
Rasio kecukupan modal (CAR) Bank Mega juga tercatat mengalami peningkatan dari sebelumnya 23,68 persen menjadi 31 persen.
Dan yang menarik, Bank Mega ini selalu menerapkan strategi pelonggaran likuiditas. Loan deposit Ratio (LDR) Bank Mega selama lima tahun terakhir tidak pernah melebihi 70 persen.
Paling tinggi LDR Bank Mega tercatat hanya 69,67 persen yang terjadi pada tahun 2019. Dan pada tahun 2020, LDR bank Mega kembali turun menjadi 60 persen.
Ini artinya bank Mega sebenarnya punya ruang yang sangat besar untuk memompa kredit agar bisa meningkatkan pendapatan.
Tapi manajemen Bank Mega terlihat sangat hati hati untuk menjaga LDR tidak melebihi 70 persen. Entah apa penyebabnya, kalau alasan pandemi sepertinya tidak juga. Karena sebelum ada pandemi LDR bank Mega malah tercatat lebih rendah. Pada tahun 2016 dan 2017, LDR Bank Mega malah tercatat hanya 55 persen dan 56 persen.
Valuasi Saham (Analisa Saham Bank Mega)
Dalam analisa saham Bank Mega kali ini, dapat diketahui bahwa harga saham Bank Mega saat artikel ini ditulis berada di level 9.900. Dengan demikian saham bank mega diperdagangkan pada rasio P/E 22,92 kali dan P/BV 3,79 kali.
Memang terlihat mahal. Tapi menimbang pertumbuhan EPS dan ROE yang mengalami kenaikan tiap tahun bahkan selalu di atas 10 persen, rasanya harganya masih tergolong wajar.
Selain itu, setiap tahun, Bank Mega saat ini rajin untuk membagikan dividen setiap tahun dengan dividen yield yang cukup menarik. Cuma memang dengan harga saat ini, potensi kenaikan sahamnya terlihat sudah terbatas. Karena harganya sudah terlanjur naik secara drastis sejak tahun lalu.
Dan bagi kalian yang ingin mengoleksi saham Bank Mega, perlu menjadi catatan juga kalau saham ini punya kelemahan yaitu sahamnya kurang likuid di pasar. Transaksi harianya sangat sedikit. Dan ini bisa jadi risiko. Karena saham yang tidak likuid harganya lebih mudah dimainkan oleh oknum oknum tertentu yang biasa disebut bandar.
Dan perlu menjadi catatan pula, karena bank Mega ini dimiliki oleh sebuah konglomerasi group usaha tentu banyak transaksi afiliasi di dalamnya.
Misalnya, pada Agustus tahun lalu, Bank Mega membeli ruang kantor strata title di trans Icon Surabaya dari PT Trans Properti Indonesia yang sahamnya juga dimiliki oleh Chariul Tanjung senilai Rp 180,52 miliar.
Selain itu, sepanjang tahun lalu Bank Mega juga menyalurkan kredit ke perusahaan afiliasi sebesar Rp 646 miliar. Kredit yang diberikan ke perusahaan afiliasi naik 57 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat hanya Rp 273 miliar.
Meski demikian, penulis melihat transaksi afiliasi ini masih dalam taraf wajar. Karena nilainya sangat sedikit jika dibandingkan dengan penyaluran kredit ke pihak ketiga yang tercatat sebesar Rp 47, 9 triliun. []